Laman

Rabu, 09 Januari 2013

Filsafat Alat Demitologisasi

“Kamu jangan pernah memberikan baju atau, sebaliknya, memberikan baju ke pacar kamu. Karena dengan berbuat hal tersebut kamu bisa putus sama pacar kamu.” Begitulah kira-kira nasihat seorang classmate saya saat sedang berbicara tentang asmara. Tapi saya rasa nasihat tersbut bisa menjadi benar kalau kita memberikan baju kepada pasangan kita dengan yang ada gambar-gambar melecehkan atau sejenisnya. Dan, menurut classmate saya, ini adalah warisan tradisi yang dia terima dari omongan orang-orang terdekat.

Mitos serupa juga pernah saya jumpai waktu itu. Misalnya, kita tidak boleh foto berdua dengan pacar kita, karena bisa menjadi sebab kita putus cinta. Dua cerita ini, tentu saja, memberi sebuah bentuk paranoid bagi kawula muda yang sedang berada di manisnya sebuah asmara. Saya, jika punya pacar, tentu saja takut untuk melanggar apa yang ada di dua cerita tersebut, tapi rasio yang sehat menolak kedua cerita tersebut.


Percaya tidak percaya itu menjadi hak saya selama tidak bersinggungan dengan kitab suci dan hadits dari para manusia suci. Tentu pembicaraan tersebut dapat digolongkan sebagai mitos, karena ada dalam posisi irrasional. Ungkapan  tersebut menjadi mitos atau, kita sebut saja, irrasional karena kita tidak mendapati relasi antara pemberian dan putus cinta. Kadang juga, karena kegalauan, akal menerka-nerka  dan mencari sebab terjadinya sesuatu (sebagai akibat) yang pada awalnya tidak disebabkan oleh hal yang kita anggap sebagai sebab, misalnya memberikan baju baru, mahal, keren, ekslusif, kepada pacar kita.

Seandainya ada kasus seperti ini, misalnya, “saya memutuskan hubungan cinta dengan pacar saya karena dia memberikan saya baju. Padahal saat dia memberi baju itu ikhlas dan tanpa pamrih, lho.” Mungkin akal saya juga mempertanyakan, kenapa saya harus memberikan sebuah afirmasi ‘putus cinta’ dengan pacar saya karena dia telah memberikan baju kepada saya?. Pertanyaan seperti ini harusnya dijadikan pertanyaan mendasar terhadap mitos irrasional itu.

Memberikan baju adalah bukan kausa-nya –secara esensial- putus cinta. “Memberikan” sebagai aksi eksis di alam eksternal, begitu juga “memutus” hubungan cinta. Kausa esensial menjadikan efeknya muncul secara esensial. Misalnya matahari dan sinar. Relasi ini bersifat esensial, walaupun kita masih menciptakan sebuah divisi hasil dikotomi dari matahari an sich dan cahaya an sich. Dua konsep ini juga menandakan ada dua eksistensi, yaitu sebab dan akibat.

Hukum kausalitas dalam filsafat menjadi masalah primer. Tidak hanya di tradisi filsafat islam, tetapi juga tradisi filsafat barat. Bahkan bagi orang yang menolak, misalnya David Hume, tetap menjadi masalah penting, walau pengkajiannya menolak hukum kausalitas ini.

Anggapan memberi baju itu dapat mencederai hubungan percintaan adalah sebuah penerimaan hukum kausalitas. Tapi, kita mesti sadar bahwa penerimaan hukum ini masih berada dalam primary intelligible, maksudnya manusia menyadari ada hubungan kausa dan efek. Dan, seperti matahari dan cahaya, hubungan eksistensial itu berada dalam tahap secondary philosophical intelligible. Intelligible yang disebut terakhir ini perlu pada pengamatan yang fokus. Kerja filosofis ini, dalam istilah Kant, bernama sintesis aposteriori di mana pikiran mengenali eksisten objektif dan menganalisis sifat eksisten tersebut.

Jadi classmate saya, sepertinya, belum melakukan pengamatan mendalam terhadap statement mitos tersebut. Seandainya itu bukan mitos melainkan keniscayaaan kausalitas mungkin akan ada banyak orang menjadi paranoid untuk memberikan baju untuk para kekasihnya. Atau bisa jadi kita memberikan predikat “calon single” kepada semua orang yang barus saja memberikan baju kepada para kekasihnya. Inilah

Kiranya penting menghidupkan tradisi “sedikit” menggunakan pikiran atau dengan kata lain rasional untuk menganalisis objek eksternal untuk mencari atau bisa juga menetapkan (qualified) kausa maupun efeknya. Dengan begini kita bersyukur masih bisa menggunakan ‘modal’ terbesar dalam hidup, yaitu akal. Dan juga dengan filsafat kita masih bisa menghindari diri dari mitologi lalu dengan leluasa menuju kepada realitas yang sedang kita hadapi.

2 komentar:

  1. Balasan
    1. mitosnya, kan, seperti itu. saya yakin aja putus atau ga putus itu masalah hubungan yang dijalin pasangan kasih

      Hapus