Laman

Senin, 21 Januari 2013

Rahasia Temanku

Waktu itu panas terik matahari tidak terelakan sengatannya ke ubun-ubun kepala. Bel sekolah yang menandakan waktu pulang kerumah lebih dinanti dari pada masuknya pelajaran ke otak. Jam dua belas lebih tiga puluh menit benda itu berbunyi, aku dan teman-teman sekelasku berteriak kompak, “Alhamdulillah”, bahkan ada yang mengatakan, “we gottaaaa goooo to Canteeeenn”, sedangkan ahli sepak bola melepaskan sepatu mereka dan dengan sekejap lari ke lapangan yang tidak jauh dari kelas.

Saat itu aku masih di kelas bersama teman yang kepribadiaannya Easy going. Bawaannya tenang, tapi sekalinya memberikan lawakan mampu membuat teman-teman sekelas tertawa hingga terpingkal-pingkal. Aku lupa nama lengkapnya siapa, tapi seluruh guru dan murid memanggilnya Ian.


Pernah sekali ia dimarahi oleh guru biologi yang baru bertugas di situ. Seingatku guru biologi tersebut mengatakan, “hei kamu!! Bisa konsentrasi tidak??!! Jangan mentang-mentang saya guru baru di sini kamu bisa seenaknya saja sok tau”. Guru baru tersebut ketus sekali terhadap Ian.

Seketika kelas tegang. Keringat mengucur deras dari kening. Telapak tangan menjadi dingin. Perut terasa ngilu. Benar-benar sulap menurutku, keadaan berubah tidak dengan waktu lama.

Tapi temannku, Ian, dengan santai menepuk-nepuk punggungku sembari ketawa, padahal ia baru saja dimarahi guru baru tersebut. Saat itu aku tidak tahu motivasinya apa menepuk punggungku. Tentu aku menyikut tangannya yang sedang tidak bisa diam itu. Bahkan waktu itu kupikir temanku itu sedikit gila.

Saat yang lain sedang asik makan, main sepak bola, dan lain-lain setelah pulang sekolah, aku dan Ian memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami jalan kaki berdua, karena mengirit ongkos kadang janjian untuk naik sepeda, namun ada yang tidak biasa saat kami tiba di gerbang sekolah, ia memutuskan pergi ke sebuah daerah, entah mengunjungi siapa dan untuk apa.

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang sendiri. Aku berjalan kaki menuju selatan sedangkan ia menunggu bus untuk pergi ke daerah utara. Kira-kira sudah empat ratus meter aku berjalan kaki Ian memanggilku agar kembali ke gerbang sekolah dan menghampiriku. Saat ia memanggilku wajahnya terlihat begitu tegang, raut mukanya menampakan sebuah ketakutan.

Benak rasanya penasaran, kenapa ia harus memanggilku lagi. Rasa penasaranku menuntun langkah kaki untuk balik ke gerbang sekolah. Debu jalanan tidak searah denganku, aku berlawanan arah dengannya. Mentari tetap dalam pendiriannya, yaitu mengeroposkan kulit dari tulang.

Setapak-demi setapak agak sedikit lebih kencang aku menghampirinya. Kira-kira 20 meter sebelum aku sampai gerbang Ian sudah lari duluan menghampiriku. Tetap saja aku yang lebih menghabiskan tenaga daripada dia.
Setelah bertatapan muka, kulihat jelas keningnya menyimpan rasa yang ingin diungkapkan.

 “kenape sih, bukan ngomong dari tadi lo?”, agak sewot ku bertanya padanya namun tetap menyimpan rasa penasaran.

Ia tidak langsung menjawab pertanyaan ku, tapi memberikan sedikit penjelasan tentang rahasia. “gw manusia yang juga punya rahasia. Ini mesti dirahasiain dari siapapun, hard”. Aku sedikit bergumam, tumben sekali orang ini serius, biasanya juga nyeleneh omongannya. Saat itu aku tahu kalau aku sedang jadi orang yang diamanati rahasia teman. Walau masih SMP aku tahu kalau itu patut dijaga kerahasiaanya.

 “hard, lo harus bener-bener jaga rahasia ini. Kalau ga terjaga bisa bahaya seumur hidup gw nih”.

“iyaa, apaan?. Rahasia apa?. Kayak negara aja lo punya rahasia penting segala”.

“arrrrgghhh ini bukan waktunya bercandaaa, tau ga lo!!”

Karena ku tahu Ian sedikit kesal karena guyonanku, aku balas, “oke, gw jaga rahasia lo sampe kapanpun”.

“serius lo yah? Saat ini gw lagi ga maen-maen, hard”. Ia sedikit pamer perasaannya waktu itu kalau tidak sedang maen-maen atau bercanda, benakku menangkap itu.

Ku coba menjabat tangannya sebagai tanda kalau aku tidak akan menghianatinya. Ia pun dengan sigap membalas jabatan tanganku.

Ia bisikan ke telingaku tentang rahasianya itu. Memang hatiku berasa berdebar karena aku sempat berpikir ia membuat kesalahan di sekolah dan aku tidak ingin juga ikut kena imbas akibat ulahnya sendiri.

Akhirnya dia membisikan, “gw mohon sama lo identitas gw jangan sampe diketahui sama monster-monster itu. Gw ini sebenarnya Power Ranger merah dan lagi nyamar jadi anak SMP.”

Tepat sekali waktunya, setelah ia bisikan itu bus yang akan mengantar ia ke tujuan tiba. Akhirnya ia pergi dengan rasa percaya diri dan sekali lagi bilang, “tolong jaga rahasinya gw ya, hard”.

Saat ia sudah pergi dengan bus, aku tertunduk diam. Rasanya ingin memaki temanku itu, tapi apalah daya, Aku TERTIPU!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar