Laman

Sabtu, 25 Februari 2017

Teman Kecil saya Adalah Ateis (?)



Tulisan ini sebuah refleksi pribadi saya yang sengaja diangkat dari pribadi saya yang langsung merasai waktu, tempat, dan sebuah kondisi. Mengapa mengangat kasus Tuhan itu tidak ada? 
Begini ceritanya:
Saya ini lahir ketika orde baru masih berkuasa. Beranjak besar pun orde baru masih berkuasa. Beranjak besar yang saya maksud adalah ketika pakaian putih merah masih saya kenakan. Karena masih SD kehidupan saya seperti kebanyakan anak-anak lainnya, main layangan, kelereng, sampai-sampai tercebur ke selokan karena rem sepeda blong. 
Hal-hal seperti itu saya alami bersama—sebut saja Arya- salah satu teman rumah. tinggalnya tidak terlalu jauh kira-kira 200 meter dari rumah bude saya, sebut saja Wati. Sewaktu kecil saya tinggal tidak di daerah rumah Arya, hanya saja setiap sekolah SD saya dekat dengan rumahnya dan rumah saudara saya. SD tempat saya belajar pun banyak beberapa sepupu saya yang masuk, bahkan ada yang jadi teman sekelas. Jadi, setiap pulang sekolah, sebelum ayah dan bunda saya menjemput, saya di rumah bude Wati dulu kemudian sering bermain dengan Arya, juga dengan beberapa sepupu saya tentunya. 

Sewaktu sedang main petak di jalanan (kebetulan jalanan itu merupakan gang kecil seperti kampung-kampung kumuh) saya berlari sekencang-kencangnya, kemudian saya ditangkap oleh salah satu teman bude Wati, Ismah. Dia larang saya bermain dengan Arya. Sepupu-sepupu saya sudah bersembunyi, bukan bersembunyi karena permainan itu, tapi melihat Ismah, Bu Ismah. Orang ini rumahnya tidak jauh dari Bude wati mungkin 100 meter tapi dari depan rumah bude Wati belok ke kanan, sedangkan kalau ke rumah Arya membelakangi rumah bude Wati. 
Bu Ismah kemudian memarahi saya di jalan sewaktu mengantar ke rumah Bude Wati. Saya lupa apa yang dia bicarakan, tapi saya ingat betul apa yang bude Wati katakan ke saya, sampai sekarang. 
Sesampainya di rumahnya, bude Wati masih mandi. Kemudian saya dan Bu Ismah harus menunggu sekitar (seingat saya) 15 menit. Munculah sosok bude Wati dari dalam kamarnya, rambutnya dibaluti oleh handuk mengenakan baju dress panjang bewarna biru langit. Kemudian Bu Ismah mulai bicara:
“Wat, Reza nih, main sama Arya,” tangan kanannya sambil diusapkan ke punggung saya. 
“jangan, Za.!” Bicaranya halus seperti biasanya, “lebih baik kamu main sama Doni saja. Itu tak apa buatmu.”
“memang kenapa bude?” tanya saya lugu.
“coba dengarkan bude kamu aja, Reza, jangan banyak tanya. Turutin saja!” perintahnya mulai sedikit marah.
“dia baik, bude. Main sepedanya jago!” saya bilang ke bude, kemudian menoleh ke Bu Ismah. 
“sstt....sssttt!” bude menyuruh saya diam.
“anak kecil belum tahu apa-apa tentang dunia,” Bu Ismah kembali bicara. Kemudian saya lihat dia mulai pergi dan berpesan:
“wat, awasin Reza, nanti ayah dan bundanya yang kena juga.”
Mendengar itu, meskipun masih SD, saya malah takut. Menafsirkan macam-macam, salah satunya disantet, karenanya pula saya berpikiran kalau ibunya atau bapaknya Arya dukun santet. Saya bilang sesuatu ke bude:
“bude, saya mau main lagi. sekarang, kan, jam 3.30 sore. Jam 5 pulang kerja bunda dan Sayuti (supirnya) jemput ke sini. Besok libur jadi tidak bisa ke sini.”
Bukannya mengiyakan permintaan saya bude marah marah-murka:
“reza..! jangan main sama orang yang tidak punya Tuhan, tidak beragama. Lihat rumahnya bewarna apa?” tanyanya sambil marah. 
Saya heran dan sama sekali tidak tahu apa-apa. Dengan polos saya bilang:
“merah. Warna kesukaan Reza, bude. Memang kenapa bude?”
Itu jawaban saya yang masih lugu. Tak tahu sama sekali bude bilang apa tentang tidak percaya tuhan dan agama. 
Dia hampiri saya, kemudian mencubit lengan saya. Kira-kira 5 detik dicubit tangan saya lalu masih dengan angkara murka dia bilang:
“jangan main sama anak-anak PKI. Anak haram!. Tak tahu diuntung. Jahannam. Penghianat!”
Saya masih tidak mengerti apa yang bude bilang. Dia bilang PKI, dan seterusnya, bla..bla...bla.
“memang kenapa, bude?” saya tanya sambil nangis karena dicubit. 
“lihat rumahnya! Fotonya banyak Sukarno, kan?! Itu PKI tidak bertuhan! Jangan karena kamu main sama Arya nanti intel datang jemput ayah dan bunda kamu. Mengerti, kan?” 
Saya masih tidak mengerti apa yang bude bilang semuanya. Waktu itu saya masih kelas 3 SD dan dicekoki hal-hal yang yang sifatnya kebencian terhadap satu pihak, yaitu pihak yang disematkan ateistis kepada mereka. Tapi apa mereka pendukung PKI?. Mereka sukarnois? Apa keluarga Arya adalah penganut ‘sosialisme a la Indonesia’, yang menurut Bung Karno sendiri, berbeda dari Rusia, Peking, dan Vietnam?. Sosialisme versi MANIPOL/USDEK?
Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu. sampai sekarang belum pernah bertemu Arya lagi. Saya benar-benar ingat, bahkan terkenang sampai sekarang, rumah Arya berwarna merah. Lukisan dan foto Presiden Sukarno dimana-mana. Beberapa kutipan tertera di tembok-temboknya, sayangnya saya lupa apa tulisannya. 
Sorenya dari itu ayah dan bunda yang jemput. Bude mengadukan hal itu pada keduanya. Sekarang saya mau bicara respon.
Dari ayah: menyuruh Sayuti jemput saya sepulang sekolah, karena ayah takut ditangkap intel karena bermain bersama Arya.
Dari bunda: menyuruh Sayuti jemput saya sepulang sekolah karena menurutnya ada usaha yang tidak mencerdaskan bagi saya sendiri. Terlebih lagi keadilan tidak terdistribusi pada Arya.
Bicara tentang bunda: Bunda lahir tahun 68, jelas tragedi berdarah 65 lebih tua darinya 3 tahun. Karena itu mustahil ia tertuduh menjadi Gerwani, CGMI, BTI, atau pun PKI sendiri. Ayah bunda, kakek saya, tentara angkatan darat. Meski demikian apakah dia turut menumpas PKI atau tidak saya tidak tahu, pun tidak pernah bertanya kepada nenek saya dan bunda saya, yang jelas sekarang ia dimakamkan di makam pahlawan kalibata. 
Bagi bunda, Arya tidak tahu apa-apa, ia juga masih SD tidak terlibat pada GESTOK atau G30S/PKI. Sekarang pantaskah dia menjadi bulan-bulanan masyarakat, menjadi orang bersalah (dipaksa menjadi bersalah) meski tidak tahu apa-apa?. Saya yang bersholat jum’at bersama, berangkat bersama kemudian mendapat tuduhan kalau teman kecil saya tidak bertuhan karena PKI. Apa pikirannya sehingga ia bisa memiliki bukti bahwa Tuhan Tidak Ada? Pun saya berani menjamin pula kalau ia juga tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan ada. 
Sekarang saya juga bertanya lagi; seperti demikiankah ORBA mendidik masyarakat sampai-sampai anak kecil pun tak lepas dari kebencian orang-orang yang anti leninisme/komunisme?. Mengapa kita tidak bisa memilah kehidupan seseorang ‘yang sebelumnya muda’ kemudian ‘menjadi tua’. Dari hal ini saya mendapatkan sebuah pengetahuan karena refleksi bahwa manusia berubah tidak selamanya ia sama di posisi sebelumnya. Kalau bicara tentang teori Kierkegard manusia memiliki lompatan-lompatan eksistensial yang mana ia melihat manusia berubah dari satu hal ke hal lainnya, dan itu adalah keadaan eksistensial. 
Mari kita bijak dalam menilai sesuatu. 
Ketika Edmund Husserl menolak Solipsisme dia bilang “zuruck zuden sachen salbt” artinya kembali kepada benda-benda itu sendiri. Maksudnya agar kita mendapatkan pengetahuan yang utuh atas objek-objeknya, bukan berdasarkan penjara-penjara yang ada dalam pikiran kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar