Tulisan ini sebuah refleksi pribadi saya yang sengaja
diangkat dari pribadi saya yang langsung merasai waktu,
tempat, dan sebuah kondisi. Mengapa mengangat kasus Tuhan itu tidak ada?
Begini ceritanya:
Saya ini lahir ketika orde baru masih berkuasa. Beranjak
besar pun orde baru masih berkuasa. Beranjak besar yang saya maksud adalah
ketika pakaian putih merah masih saya kenakan. Karena masih SD kehidupan saya
seperti kebanyakan anak-anak lainnya, main layangan, kelereng, sampai-sampai
tercebur ke selokan karena rem sepeda blong.
Hal-hal seperti itu saya alami bersama—sebut saja Arya-
salah satu teman rumah. tinggalnya tidak terlalu jauh kira-kira 200 meter dari
rumah bude saya, sebut saja Wati. Sewaktu kecil saya tinggal tidak di daerah
rumah Arya, hanya saja setiap sekolah SD saya dekat dengan rumahnya dan rumah
saudara saya. SD tempat saya belajar pun banyak beberapa sepupu saya yang
masuk, bahkan ada yang jadi teman sekelas. Jadi, setiap pulang sekolah, sebelum
ayah dan bunda saya menjemput, saya di rumah bude Wati dulu kemudian sering
bermain dengan Arya, juga dengan beberapa sepupu saya tentunya.
Sewaktu sedang main petak di jalanan (kebetulan jalanan
itu merupakan gang kecil seperti kampung-kampung kumuh) saya berlari
sekencang-kencangnya, kemudian saya ditangkap oleh salah satu teman bude Wati,
Ismah. Dia larang saya bermain dengan Arya. Sepupu-sepupu saya sudah
bersembunyi, bukan bersembunyi karena permainan itu, tapi melihat Ismah, Bu Ismah.
Orang ini rumahnya tidak jauh dari Bude wati mungkin 100 meter tapi dari depan
rumah bude Wati belok ke kanan, sedangkan kalau ke rumah Arya membelakangi
rumah bude Wati.
Bu Ismah kemudian memarahi saya di jalan sewaktu
mengantar ke rumah Bude Wati. Saya lupa apa yang dia bicarakan, tapi saya ingat
betul apa yang bude Wati katakan ke saya, sampai sekarang.
Sesampainya di rumahnya, bude Wati masih mandi. Kemudian
saya dan Bu Ismah harus menunggu sekitar (seingat saya) 15 menit. Munculah
sosok bude Wati dari dalam kamarnya, rambutnya dibaluti oleh handuk mengenakan
baju dress panjang bewarna biru langit. Kemudian Bu Ismah mulai bicara:
“Wat, Reza nih, main sama Arya,” tangan kanannya sambil diusapkan ke punggung saya.
“Wat, Reza nih, main sama Arya,” tangan kanannya sambil diusapkan ke punggung saya.
“jangan, Za.!” Bicaranya halus seperti biasanya, “lebih
baik kamu main sama Doni saja. Itu tak apa buatmu.”
“memang kenapa bude?” tanya saya lugu.
“coba dengarkan bude kamu aja, Reza, jangan banyak tanya.
Turutin saja!” perintahnya mulai sedikit marah.
“dia baik, bude. Main sepedanya jago!” saya bilang ke
bude, kemudian menoleh ke Bu Ismah.
“sstt....sssttt!” bude menyuruh saya diam.
“anak kecil belum tahu apa-apa tentang dunia,” Bu Ismah
kembali bicara. Kemudian saya lihat dia mulai pergi dan berpesan:
“wat, awasin Reza, nanti ayah dan bundanya yang kena juga.”
“wat, awasin Reza, nanti ayah dan bundanya yang kena juga.”
Mendengar itu, meskipun masih SD, saya malah takut.
Menafsirkan macam-macam, salah satunya disantet, karenanya pula saya berpikiran
kalau ibunya atau bapaknya Arya dukun santet. Saya bilang sesuatu ke bude:
“bude, saya mau main lagi. sekarang, kan, jam 3.30 sore. Jam 5 pulang kerja bunda dan Sayuti (supirnya) jemput ke sini. Besok libur jadi tidak bisa ke sini.”
“bude, saya mau main lagi. sekarang, kan, jam 3.30 sore. Jam 5 pulang kerja bunda dan Sayuti (supirnya) jemput ke sini. Besok libur jadi tidak bisa ke sini.”
Bukannya mengiyakan permintaan saya bude marah
marah-murka:
“reza..! jangan main sama orang yang tidak punya Tuhan, tidak beragama. Lihat rumahnya bewarna apa?” tanyanya sambil marah.
“reza..! jangan main sama orang yang tidak punya Tuhan, tidak beragama. Lihat rumahnya bewarna apa?” tanyanya sambil marah.
Saya heran dan sama sekali tidak tahu apa-apa. Dengan
polos saya bilang:
“merah. Warna kesukaan Reza, bude. Memang kenapa bude?”
“merah. Warna kesukaan Reza, bude. Memang kenapa bude?”
Itu jawaban saya yang masih lugu. Tak tahu sama sekali
bude bilang apa tentang tidak percaya tuhan dan agama.
Dia hampiri saya, kemudian mencubit lengan saya.
Kira-kira 5 detik dicubit tangan saya lalu masih dengan angkara murka dia
bilang:
“jangan main sama anak-anak PKI. Anak haram!. Tak tahu diuntung. Jahannam. Penghianat!”
“jangan main sama anak-anak PKI. Anak haram!. Tak tahu diuntung. Jahannam. Penghianat!”
Saya masih tidak mengerti apa yang bude bilang. Dia
bilang PKI, dan seterusnya, bla..bla...bla.
“memang kenapa, bude?” saya tanya sambil nangis karena
dicubit.
“lihat rumahnya! Fotonya banyak Sukarno, kan?! Itu PKI
tidak bertuhan! Jangan karena kamu main sama Arya nanti intel datang jemput
ayah dan bunda kamu. Mengerti, kan?”
Saya masih tidak mengerti apa yang bude bilang semuanya.
Waktu itu saya masih kelas 3 SD dan dicekoki hal-hal yang yang sifatnya
kebencian terhadap satu pihak, yaitu pihak yang disematkan ateistis kepada
mereka. Tapi apa mereka pendukung PKI?. Mereka sukarnois? Apa keluarga Arya
adalah penganut ‘sosialisme a la Indonesia’, yang menurut Bung Karno sendiri,
berbeda dari Rusia, Peking, dan Vietnam?. Sosialisme versi MANIPOL/USDEK?
Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu. sampai sekarang
belum pernah bertemu Arya lagi. Saya benar-benar ingat, bahkan terkenang sampai
sekarang, rumah Arya berwarna merah. Lukisan dan foto Presiden Sukarno
dimana-mana. Beberapa kutipan tertera di tembok-temboknya, sayangnya saya lupa
apa tulisannya.
Sorenya dari itu ayah dan bunda yang jemput. Bude
mengadukan hal itu pada keduanya. Sekarang saya mau bicara respon.
Dari ayah: menyuruh Sayuti jemput saya sepulang sekolah,
karena ayah takut ditangkap intel karena bermain bersama Arya.
Dari bunda: menyuruh Sayuti jemput saya sepulang sekolah
karena menurutnya ada usaha yang tidak mencerdaskan bagi saya sendiri. Terlebih
lagi keadilan tidak terdistribusi pada Arya.
Bicara tentang bunda: Bunda lahir tahun 68, jelas tragedi
berdarah 65 lebih tua darinya 3 tahun. Karena itu mustahil ia tertuduh menjadi
Gerwani, CGMI, BTI, atau pun PKI sendiri. Ayah bunda, kakek saya, tentara
angkatan darat. Meski demikian apakah dia turut menumpas PKI atau tidak saya
tidak tahu, pun tidak pernah bertanya kepada nenek saya dan bunda saya, yang
jelas sekarang ia dimakamkan di makam pahlawan kalibata.
Bagi bunda, Arya tidak tahu apa-apa, ia juga masih SD
tidak terlibat pada GESTOK atau G30S/PKI. Sekarang pantaskah dia menjadi
bulan-bulanan masyarakat, menjadi orang bersalah (dipaksa menjadi bersalah)
meski tidak tahu apa-apa?. Saya yang bersholat jum’at bersama, berangkat
bersama kemudian mendapat tuduhan kalau teman kecil saya tidak bertuhan karena
PKI. Apa pikirannya sehingga ia bisa memiliki bukti bahwa Tuhan Tidak Ada? Pun saya
berani menjamin pula kalau ia juga tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan ada.
Sekarang saya juga bertanya lagi; seperti demikiankah
ORBA mendidik masyarakat sampai-sampai anak kecil pun tak lepas dari kebencian
orang-orang yang anti leninisme/komunisme?. Mengapa kita tidak bisa memilah
kehidupan seseorang ‘yang sebelumnya muda’ kemudian ‘menjadi tua’. Dari hal ini
saya mendapatkan sebuah pengetahuan karena refleksi bahwa manusia berubah tidak
selamanya ia sama di posisi sebelumnya. Kalau bicara tentang teori Kierkegard
manusia memiliki lompatan-lompatan eksistensial yang mana ia melihat manusia
berubah dari satu hal ke hal lainnya, dan itu adalah keadaan eksistensial.
Mari kita bijak dalam menilai sesuatu.
Ketika Edmund Husserl menolak Solipsisme dia bilang “zuruck
zuden sachen salbt” artinya kembali kepada benda-benda itu sendiri.
Maksudnya agar kita mendapatkan pengetahuan yang utuh atas objek-objeknya,
bukan berdasarkan penjara-penjara yang ada dalam pikiran kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar